
Kalau ada udang di balik batu, apa yang ada di balik tempe?
Jawabannya, banyak! Bukan cuma soal makanan dan kandungannya yang bermanfaat bagi tubuh manusia, tempe juga punya filosofi yang dalam dan erat dengan budaya, khususnya budaya Jawa.
Murdijati Gardjito, professor teknologi pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM) menjelaskan, tempe sudah dikenal sejak zaman nenek moyang. Dalam Serat Centhini disebutkan, tempe berperan mulai dari makanan untuk keseharian; sebagai makanan untuk suguhan tamu; hingga sebagai sumbangan, misalnya untuk acara pernikahan.
Dalam hal pembuatan tempe, orang Jawa punya slogan “yen atine resik, tempene apik”, kalau hatinya bersih, tempenya akan baik. Artinya, para perajin harus bersih luar dan dalam (Tidak emosi, tidak sakit hati, dan lain sebagainya), serta harus bekerja penuh konsentrasi. Hal ini juga mengingat bahwa dalam proses pembuatan tempe, termasuk saat fermentasi, tidak boleh ada kontaminasi.
Tempe juga menyimpan filosofi lain. Diintegrasikan oleh masyarakat Jawa ke dalam sekitar 15 ritual tradisional, biasanya tempe menjadi elemen wajib dalam sajian nasi berbentuk corong (tumpeng) yang melambangkan pertolongan dari Tuhan (pitulungan).
Bukan Cuma itu, berbagai komunitas juga telah memberikan makna-makna atau nilai filosofis terhadap sejumlah bentuk sajian tempe, seperti ‘tempe bacem’ dengan kenikmatan, ‘besengek tempe’ dengan kesederhanaan, dan ‘tempe bungkil’ dengan kesucian.
Setelah tahu ada filosofi apa saja yang ada di balik tempe, pada akhirnya kita juga belajar dari tempe, bahwa jangan menilai sesuatu hanya dari penampilan saja, bukan? [*]