Sabet Penghargaan Tingkat Dunia karena Jamur Tempe
Sumber Gambar : Tangkapan layar dari www.ugm.ac.id
Banyak penelitian yang memaparkan kandungan nutrisi dan manfaat kedelai/tempe. Namun, tahukah Anda, bahwa air rebusan tempe pun mengandung mikronutrien yang penting bagi tubuh?
Adalah Rachma Wikandari, S.T.P., M.Biotech., Ph.D, seorang dosen di Fakultas Teknologi Pertanian (FTP) Universitas Gadjah Mada, yang baru-baru ini berhasil mendapatkan penghargaan The Hitachi Global Foundation Asia Innovation Award atas risetnya mengenai mikroprotein yang dikembangkan dari air rebusan kedelai.
Disiarkan dalam situs web UGM, selama empat tahun penelitian, Rachma menemukan bahwa mikroprotein merupakan protein alternatif yang memiliki kandungan nutrisi protein yang berada di antara daging dan kedelai. Kandungan asam amino yang dimiliki juga lengkap. Mikroprotein sendiri terbuat dari Miselium jamur tempe yang ditumbuhkan pada media cair. Tekstur hasil panen seperti adonan kue (dough) sehingga mudah untuk dibentuk seperti bakso atau sosis. “Hanya saja masih perlu adanya pengembangan untuk tekstur hasil panen supaya mirip seperti daging ayam,” kata Rachma pada awal Februari lalu.
Hal ini menjadikan tempe tidak hanya bernilai sebagai produk akhir, tetapi juga dalam proses produksinya yang dapat melahirkan produk turunan bernilai tinggi.
Salah satu keunggulan dari inovasi ini adalah efisiensi produksinya. Mikroprotein dapat diproduksi dalam waktu singkat, yakni hanya dua hari, dengan hasil panen mencapai satu kilogram. Reaktor yang dibutuhkan pun berukuran relatif kecil, hanya 1×1 meter, sehingga tidak membutuhkan ruang yang besar.
Namun, hal yang tak kalah penting dari inovasi ini adalah kemungkinan solusi untuk mengatasi permasalahan limbah dari industri tempe sekaligus menciptakan potensi pendapatan tambahan bagi para produsen tempe. Ini menjadikan tempe sebagai komoditas yang semakin berkelanjutan dan ekonomis.
Riset yang dilakukan Rachma ini tidak hanya membawanya memenangkan penghargaan Hitachi Awards, sebelumnya Ia juga sudah beberapa kali memenangkan penghargaan salah satunya L’Oreal – Unesco for Women in Science National Fellowship 2024 Award Academy.
Sebagai inovator pangan, Rachma menghadapi tantangan tersendiri dalam mengenalkan produk barunya kepada masyarakat. Fenomena food neophobia—ketakutan terhadap makanan baru—menjadi hambatan dalam adopsi makanan inovatif di Indonesia. Ia mengatakan bahwa masyarakat Indonesia cenderung tidak mudah menerima olahan pangan baru yang dianggap asing.
Namun, Dr. Rachma berharap riset potensi pangan alternatif yang ia kembangkan ini bisa berkontribusi menyelesaikan masalah di masyarakat dengan mencari dan memanfaatkan potensi pangan lokal. Amin. [*]