Selama ini, tempe dikenal sebagai sumber protein nabati yang menyehatkan dan terjangkau. Selain tinggi protein, tempe juga mengandung serat, vitamin, mineral, hingga probiotik alami yang baik untuk pencernaan.
Namun, hal yang sering terlewat dari perhatian adalah cara memasak tempe yang ternyata berpengaruh besar terhadap kandungan gizinya. Banyak orang masih mengolah tempe dengan cara digoreng dalam minyak panas, padahal metode ini bisa mengurangi bahkan merusak nutrisi penting yang terkandung di dalamnya.
Tempe mengandung bakteri asam laktat, yaitu probiotik alami yang berperan penting dalam menjaga keseimbangan mikrobiota usus dan mendukung sistem imun. Namun, jika tempe digoreng terlalu panas, probiotik ini akan mati dan manfaatnya pun hilang. Selain itu, minyak nabati alami dalam kedelai yang sebenarnya baik untuk tubuh bisa tergantikan oleh lemak jenuh dari minyak goreng biasa.
Oleh karena itu, agar manfaat tempe tetap maksimal, cara memasaknya perlu disesuaikan dengan prinsip memasak sehat. Beberapa alternatif yang direkomendasikan antara lain dengan dikukus untuk menjaga kandungan nutrisinya tanpa tambahan lemak; dipanggang atau dibakar agar bisa tetap memberikan cita rasa yang khas dengan minim minyak; atau ditumis ringan dengan menggunakan sedikit minyak sehat seperti minyak zaitun atau minyak kelapa, dan hindari panas berlebih. Selain metode memasak, kebersihan dan kualitas tempe juga penting untuk diperhatikan. Pilih tempe yang segar, tidak berbau asam menyengat, dan bebas dari kontaminasi.
Tempe bukan hanya sehat dan bernutrisi, tapi juga ramah di kantong dan mudah ditemukan di seluruh penjuru Indonesia. Inilah yang membuatnya sangat cocok sebagai salah satu menu utama dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG). Dengan pengolahan yang tepat, tempe bisa menjadi makanan unggulan yang bukan hanya mengenyangkan, tapi juga menyehatkan masyarakat dari berbagai kalangan.
Mengintegrasikan tempe dalam MBG, sambil mengedukasi masyarakat tentang cara memasak yang benar, adalah langkah nyata untuk meningkatkan kualitas konsumsi pangan masyarakat Indonesia—bukan hanya sekadar kenyang, tapi juga bergizi dan berkelanjutan. [*]