Mengenal Tiga Cara Pewarisan PembuatanTempe
Sumber Gambar : Foto ilustrasi: www.canva.com
Tempe bukan semata hidangan lezat, tapi juga warisan budaya bangsa. Sejak dahulu, tempe telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia, diturunkan dari generasi ke generasi melalui tradisi dan pengetahuan kuliner.
Proses pembuatan tempe sendiri merupakan cerminan kearifan lokal. Dimulai dari pemilihan kedelai berkualitas, kemudian direbus, dirajang, dan difermentasi menggunakan ragi tempe. Proses fermentasi ini menghasilkan cita rasa dan tekstur unik yang khas, sekaligus memperkaya nilai gizi tempe.
Dalam diskusi bertema “Dari Desa Menuju Dunia: Lika Liku Tempe dalam Kehidupan Sosial, Budaya dan Ekonomi Masyarakat” yang digelar BRIN secara daring beberapa waktu lalu, Khoirul Anwar, Sgz, Msi dari Prodi Gizi Fakultas Teknologi Pangan dan Kesehatan Universitas Sahid Jakarta memaparkan materi tentang transmisi budaya tempe, dalam hal ini terkait dengan transmisi pengetahuan dan keterampilan produksi tempe.
Khoirul mengatakan bahwa setidaknya ada tiga cara terkait transmisi itu. Pertama, secara tradisional, di mana dikenal istilah ndeleng si mboke atau pa'e (bahasa Jawa: melihat ibu atau bapak). “Seberapa besar seorang anak mewarisi kemampuan orangtua atau kakek-neneknya dalam membuat tempe? Alat ukurnya mudah, mahasiswa Indonesia di luar negeri yang berusaha membuat tempe sendiri. Itu pewarisan keluarga yang dipraktikkan,” kata Khoirul.
Kedua adalah semi-modern. Ngenger (bahasa Jawa: ikut orang, melihat, mengalami, dan bekerja langsung dalam proses pembuatan). Maksudnya adalah ada banyak perajin yang sebelumnya menjadi karyawan pembuatan tempe, lalu menjadi perajin tempe.
Terakhir secara modern. Di sini ada istilah nggelidik yang berarti jalan sendiri, melalui pembelajaran keterampilan dan keahlian dari si produsen ke calon perajin baru. Contohnya adalah pelatihan dari Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia (KOPTI), Forum Tempe Indonesia (FTI), Rumah Tempe Indonesia (RTI), dan Pergizi Pangan. [*]
Proses pembuatan tempe sendiri merupakan cerminan kearifan lokal. Dimulai dari pemilihan kedelai berkualitas, kemudian direbus, dirajang, dan difermentasi menggunakan ragi tempe. Proses fermentasi ini menghasilkan cita rasa dan tekstur unik yang khas, sekaligus memperkaya nilai gizi tempe.
Dalam diskusi bertema “Dari Desa Menuju Dunia: Lika Liku Tempe dalam Kehidupan Sosial, Budaya dan Ekonomi Masyarakat” yang digelar BRIN secara daring beberapa waktu lalu, Khoirul Anwar, Sgz, Msi dari Prodi Gizi Fakultas Teknologi Pangan dan Kesehatan Universitas Sahid Jakarta memaparkan materi tentang transmisi budaya tempe, dalam hal ini terkait dengan transmisi pengetahuan dan keterampilan produksi tempe.
Khoirul mengatakan bahwa setidaknya ada tiga cara terkait transmisi itu. Pertama, secara tradisional, di mana dikenal istilah ndeleng si mboke atau pa'e (bahasa Jawa: melihat ibu atau bapak). “Seberapa besar seorang anak mewarisi kemampuan orangtua atau kakek-neneknya dalam membuat tempe? Alat ukurnya mudah, mahasiswa Indonesia di luar negeri yang berusaha membuat tempe sendiri. Itu pewarisan keluarga yang dipraktikkan,” kata Khoirul.
Kedua adalah semi-modern. Ngenger (bahasa Jawa: ikut orang, melihat, mengalami, dan bekerja langsung dalam proses pembuatan). Maksudnya adalah ada banyak perajin yang sebelumnya menjadi karyawan pembuatan tempe, lalu menjadi perajin tempe.
Terakhir secara modern. Di sini ada istilah nggelidik yang berarti jalan sendiri, melalui pembelajaran keterampilan dan keahlian dari si produsen ke calon perajin baru. Contohnya adalah pelatihan dari Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia (KOPTI), Forum Tempe Indonesia (FTI), Rumah Tempe Indonesia (RTI), dan Pergizi Pangan. [*]
Create By : Admin
