Tempe Jadi Tambah Mentereng dengan “Value Engineering”

Sumber Gambar : Foto ilustrasi: www.canva.com
Semakin hari kita menghadapi hal-hal yang semakin menantang. Tumpukan tugas yang menuntut kita bisa lebih piawai membagi waktu antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, gaya hidup yang membuat harus lebih jeli memilah yang sehat dan yang kurang sehat, dan hal lain yang mensyaratkan kita harus lebih bisa menjaga diri dan kesehatan.
 
Dalam hal makanan pun demikian. Kita bersyukur bahwa semakin hari, gaya hidup dan pilihan makanan sehat semakin beragam dengan adanya penelitian dan inovasi yang melahirkan makanan yang bisa menunjang kesehatan.
 
Tempe yang sudah ada sejak ratusan tahun silam di Indonesia sudah sejak dulu diakui sebagai makanan sehat. Kini, di tengah kemajuan teknologi dan informasi, kita mengenal value engineering yang bisa meningkatkan nilai tambah tempe.
 
Tempe yang merupakan makanan tradisional berbahan dasar kedelai ini memang bisa menjadi contoh menarik dalam penerapan value engineering. Tempe tidak hanya menjadi simbol kekayaan kuliner Indonesia, tetapi juga menawarkan potensi ekonomi yang besar, baik di pasar domestik maupun global. Agar tempe tetap relevan dan berdaya saing di era modern ini, dibutuhkan inovasi yang cerdas dalam meningkatkan nilai tanpa mengorbankan kualitas maupun tradisinya.
 
Value engineering
Secara singkat, value engineering adalah metode untuk meningkatkan "nilai" suatu produk dengan mempertahankan atau meningkatkan fungsinya. Dalam kaitannya dengan tempe, value engineering bisa membuka berbagai hal, misalnya, pertama, mengganti bahan baku. Ini adalah salah satu strategi value engineering, yaitu mencari alternatif bahan baku. Dalam hal tempe, hal ini bisa berwujud penggunaan kacang-kacangan lokal seperti kacang koro sebagai substitusi kedelai.
 
Kedua, desain kemasan yang dapat dikembangkan menjadi lebih fungsional dan estetik, sehingga meningkatkan daya tahan, daya tarik pasar, dan memperluas segmen konsumen, termasuk pasar ekspor yang menuntut standar kemasan lebih tinggi. Selanjutnya adalah diversifikasi produk, yang antara lain kita kenal dengan bentuk olahan keripik tempe, nastar tempe, nugget tempe, dan lain-lain yang hal ini memperluas peluang bisnis sekaligus memperkenalkan tempe kepada generasi muda yang menginginkan produk pangan yang praktis dan modern.
 
Penelitian seputar value engineering juga sudah dilakukan. Seperti pada 2016 oleh Indri Chusni Hanifa, Dr. Atris Suyantohadi, STP, MT ; Ir. Guntarti Tatik Mulyati, MT dari Universitas Gajah Mada. Dalam penelitian itu mereka mengembangkan produk tempe dengan penambahan rasa seperti bawang putih, ketumbar, cabai, dan daun bawang, sehingga didapatkan berbagai alternatif konsep.
 
Bahan-bahan tersebut direbus dan didinginkan terlebih dahulu sebelum dicampurkan pada kedelai yang telah diberi ragi pada saat proses fermentasi. Hasil yang didapatkan adalah bahwa dari tujuh konsep yang telah dihasilkan, tempe pedas dengan tambahan dua buah cabai telah meningkat kepraktisannya serta menjadi konsep terbaik penelitian ini.
 
Di tengah tren makanan sehat dan keberlanjutan, tempe memiliki potensi besar untuk terus tumbuh dan berinovasi. Dengan penerapan value engineering yang kreatif dan adaptif, tempe tidak hanya akan bertahan sebagai makanan tradisional, tetapi juga dapat bersaing di panggung pangan global. [*]

Create By : Admin
Artikel Lainnya