Tempe telah eksis di Indonesia sejak abad ke 16 (menurut kitab Serat Centhini) yang digunakan sebagai makanan utama di keraton. Di era modern ini, tempe menjadi makanan yang wajib ada di dapur masyarakat Indonesia. Di Indonesia sendiri tempe diolah menjadi beragam makanan seperti tempe goreng, tempe bacem, tempe mendoan, sambal goreng tempe, keripik tempe, brownies tempe hingga yang terbaru adalah coklat tempe. Lebih luas lagi kini tempe eksistensinya sudah mendunia. Kebanyakan vegetarian di luar negeri banyak menggunakan tempe sebagai pengganti daging.
Semakin berkembangnya tempe di berbagai negara asing di dunia, membuat United States Soybean Export Council (USSEC) selaku produsen kedelai dari Amerika mengadakan 13th SE Asia Soy Food Symposium 2018. Acara berlangsung di Ballroom A, Hotel Shangri-La Surabaya selama dua hari sejak 19-20 Maret 2018. Acara ini menghadirkan 17 pembicara dari berbagai belahan Negara yang berkontribusi untuk menyampaikan pemikirannya terhadap perkembangan pemanfaatan soy bean (kacang kedelai). Fakultas Teknologi Pertanian (FTP) Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya (UKWMS) turut berpartisipasi menjadi kolaborator dalam acara bertaraf internasional ini. Salah satu pembicaranya adalah perwakilan dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UKWMS yaitu Prof. Dr. Agustinus Ngadiman.
Sesi pertama diawali materi oleh Prof Aman Wirakartakusumah dari Institut Pertanian Bogor (IPB). Ia menjelaskan, agar tempe dapat menjadi makanan yang berkualitas internasional, harus ditingkatkan baik dari segi produksi, manajemen tempe dan melestarikannya sebagai bagian budaya Indonesia. Diperlukan kontribusi oleh para perempuan dan kaum muda untuk ikut membantu para produsen tempe. Pernyataan ini tak hanya ditujukan kepada produsen tempe lokal, tetapi juga pengusaha yang telah memiliki industri tempe. Begitu juga dengan pengakuan pemerintah bahwa tempe merupakan warisan budaya Indonesia.
Sumber : ukwms.ac.id